16.3.08

Yipiii....Englishku Makin Bagus



Ada satu hal yang sebenarnya yang tidak saya suka saat melakukan reportase di lapangan. Yakni, kebagian event yang ngomongnya pake bahasa Inggris. Wis, dijamin aku pasti ndomblong nggak karuan saat peliputan. Ya, gimana lagi lha namanya saja orang nggak ngerti. Kalau pun pengin dapet data yang lumayan, ya harus nunggu acara selesai trus menculik salah seorang tokoh saktinya yang bisa bahasa Indonesia. Huahahahaha. Hiks, menyedihkan.

Begitulah, hari-hari liputan di event yang berbau bahasa wesyeng-wesyeng itu terasa menyebalkan. Mestinya di event biasa aku bisa nongkrong setengah jam, but kalo event yang gituan dipastikan butuh menjamur di tempat dalam waktu berjam-jam. Alamaaaak.

Ups, tapi aku bukan tipe orang yang harus menyerah begitu saja huehehehe. Nggak match ma jiwa kewartawanan gitu loh jikalau ane nyerah di tengah jalan. Melalakukan aktifitas peliputan di event English memang pada awalnya terasa membingungkan dan menyebalkan. Namun, setelah beberapa kali ikutan eh jadinya malah ketagihan atau lebih tepatnya tertantang. Ayayayayaya.....! ^_^

Meski kerepotan tapi lumayan mengasyikkan. Beberapa event yang pernah aku ikuti antara lain (sedikit pamer nggak apa toh? hohohoho :D), pembukaan Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) Inherrent di Bali, kuliah tamu ilmuwan Jerman di fakultas perkapalan, MoU ITS-Sun, MoU ITS-Iran, hibah PLC dari Mitsubishi Japan, kunjungan Asian Institute of Technology Bangkok, orasi ilmiah tentang robotika oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) di PENS, and so on. Selain dapet pengalaman plus kartu nama pakar-pakar asing, ikut acara-acara tersebut juga lumayan bisa membuat kenyang perut. Khan pasti da makan-makannya. Okayyyyyyyyy.

Tak seasyik yang dibayangkan, ternyata yang namanya bahasa Inggris bisa ada bermacam versi. Ya kaya' orang indonesia, meski bahasanya satu tapi logatnya itu lho, bisa saebreg. Nah tuh, logat (baca aksen) inggrisnya orang Jerman beda ma orang Indonesia, beda pula ma orang Asutralia, beda juga dengan orang timur tengah, apalagi dengan orang Jepang. Untuk yang terakhir, menurutku inilah yang paling parah. Wis, lidahnya ngruwel pokoknya. Logat jepang dikombinasikan dengan bahasa Inggris, perlu fokus tingkat tinggi jika pengin memahami apa yang diomongin orang-orang Niphon itu.

Dari mendengarkan akhirnya nekat juga berbicara. Karena tergencet kebutuhan salah satunya. Aku akhirnya memberanikan diri untuk melakukan wawancara dengan orang asing langsung. Dan tre teeeet tre teeet tet tet, dar dar horeeee. Yes, yes, yes ternyata aku juga bisa walau kenyataannya logatku Inggris juga nggak karuan bener pa nggak. Sing penting mereka, orang asing, nyambung alias ngerti toh? Asal dah nyambung bueres wesss. Kekekekeke

Yup, tak terasa dengan asal bicara saja English ku dapat dikatakan lumayan (GR ......Biarin). Padahal bisanya masih beberapa kata saja. Maklum guys, padi yang belum berisi itu kan daunnya pasti menjulang ^_^', :p. Cukup sekian, mungkin benar apa kata orang English itu funny. Setujuuuuuuuuu.

15.3.08

Cacat di Edisi Perdana, Kecewa ...... !



Bertepatan dengan wisuda angkatan ke-96 ITS, Sabtu (15/3), ITS Point resmi dilaunching. Majalah resmi ITS yang menggantikan koran ITS ini diharapkan mampu mendongkrak citra ITS di mata masyarakat, baik nasional maupun intrenasional, dan dapat mengkomunikasikan segala inovasi teknologi yang selama ini masih terbungkus rapi di balik tebalnya buku akademik perguruan tinggi.

Saya sendiri, sebagai salah seorang yang dipercaya menjadi tim redaksi tentu juga merasa bangga, akhirnya setapak demi setapak ITS melangkah ke arah perbaikan yang menjanjikan. Pobia masyarakat akan rumitnya sebuah teknologi pun setidaknya akan tereduksi dengan adanya majalah ini. Ya, itulah yang telah menjadi salah satu misi kami. Menjembatani distribusi informasi teknologi antara masyarakat dengan para ahli.

Tapi, kontradiktif dengan apa yang diharapkan, sebuah kecelakaan justru terjadi di peluncuran perdana ITS Point. Ada beberapa kesalahan desain dan content di beberapa halamannya. Tragis, apalagi majalah sudah terlanjur dicetak sebanyak lima ribu eksemplar. Lebih mengerikan lagi, ternyata majalah terlanjur tersebar di khalayak, tepat pada saat perayaan wisuda ITS.

Sangat kecewa. Saat membuka majalah seukuran A4 itu aku hanya terpaku. Kok bisa seperti ini? Dari sisi desain, lumayan. Tapi, ketika membaca beberapa bagian rubriknya, ada bagian-bagian yang terulang dan malah tak berhubungan dengan rubrik seharusnya.

Terus terang, tragedi ini mengingatkanku pada kejadian yang sama saat aku menjadi layouter buletin jumat masjid Manarul Ilmi ITS, Al-Manaar. Edisi pertama buletin tersebut juga amburadul. Sedih nian, kenapa itu juga terjadi di sini, majalah ITS yang konon targetnya adalah kalangan menengah ke atas?

Pihak humas ITS sendiri sempat kalang kabut setelah mengetahui ada cacat di majalah, begitu juga wakil pimred kami (pimred sedang tak ada di tempat saat itu). Aku yang reporter senior sih hanya diam saja. Ingin berbicara dan memberi komentar, toh semuanya sudah terlanjur. Lagi pula, kesalahan tersebut juga mutlak kesalahan tim redaksi karena kurangnya koordinasi.

Untunglah, para pimpinan di multimedia segera tanggap. Tiga ribu eksemplar majalah yang belum dibendel akhirnya dipending penerbitannya, adapun yang dua ribu sudah terlanjur tersebar ke mahasiswa dan masyarakat.

Sebuah pelajaran yang berharga, sekaligus peringatan agar kami tak terjebak pada kesalahan yang sama. Sejak mengurus Al-Manaar, I_Mail (Informasi Manarul Ilmi), majalah LDK ITS, hingga ITS Poin ini banyak sekali dinamika yang saya rasakan. Tapi, rasanya kok selalu ada saja masalah, yang tak jarang pula sama, menjegal kesuksesan media.

Kecerobohan, ya itulah yang dapat aku simpulkan. Mungkin, saya pribadi mengetahui. Namun, jika hanya sendiri tentu itu tidaklah cukup jika anggota tim yang lain tak menyadari. Apalagi pola kinerja kami pada proses pembuatan majalah perdana ini terkesan insruktif dan terlalu berorientasi pada waktu. Sehingga penyelesaiannya pun terkesan asalkan jadi.

Namun, saya yakin apa yang telah terjadi tak akan terulang lagi pada edisi selanjutnya. Tak hanya dari internal tim sediri. Setidaknya, mereka yang juga secara tak langsung mempunyai keterkaitan dengan media ini akan membuka mata dan turut memberikan kontribusinya. Tak hanya asal ngomong besar saja.

"Saat petang di kantor"