29.1.08

Agent of Allah in Hongkong



Tangan saya agak gemetar, ketika seorang teman menyodorkan amplop warna kecokelatan. Agak tebal amplop itu. Dan sudah pasti ada isinya. Saya segera membaca siapa sang pengirim amplop itu. Oh, alhamdulillah. Sahabat saya di Hongkong. Seorang muslimah yang sedang mencoba berjuang di negeri orang, seperti saya.

Di atas amplop itu ada seuntai tulisan berhuruf arab yang berbunyi: laa taftahu wa laataqro'u illa bilhaq. Demi mengikuti amanah tulisan itu, saya membukanya dengan perlahan, hati-hati dan tentu juga dengan niat baik.

Wow! Luar biasa. Dua buah VCD. Yang satu, tentang milad sebuah kelompok pengajian. Dan yang satu lagi tentang milad sebuah organisasi kepenulisan. Melihat cover dua VCD itu, saya bisa menebak, bahwa kegiatan itu semua dimotori oleh kaum hawa.

Tanpa mandi terlebih dahulu, saya langsung memutar VCD yang satu. Begitu saya masukan ke disc player, saya langsung disuguhi lagu Lir Ilir. Lagu yang konon diciptakan oleh Sunan Ampel itu sempat membuat bulu kuduk saya berdiri. Dan pikiran ini langsung terbang ke suasana kampung saya beberapa tahun lalu. Ketika saya dan beberapa teman mempersiapkan anak-anak TPA untuk wisuda. Lagu yang dipopulerkan kembali oleh Cak Nun, suami Novia Kolopaking, dan aransemen musiknya digarap oleh kelompok musik Kyai Kanjeng inilah yang saya ajarkan kepada anak-anak kampung saya.

Saya terus mengikuti yang ditampilkan VCD itu. Dari alunan kalam Illahi, sampai doa penutup. Bagaikan lautan jilbab. Yang mengikuti kegiatan agamis itu ternyata perempuan semua. Mereka mengucap takbir, manakala sang qori' baru saja menyelesaikan satu ayat yang telah dibacanya. Gayanya mirip pengajian di kampung saya. Dan memang kebanyakan mereka berasal dari kampung.

Mereka bukan sedang berada di pedalaman Jombang. Mereka bukan komunitas Islam tradisional di Pekalongan atau Purwokerto. Dan mereka juga bukan ibu-ibu pengajian di kota-kota santri di Pulau Jawa. Tapi mereka adalah saudara-saudara kita yang saat ini sedang berjuang memperbaiki nasib untuk dirinya, keluarganya, di negeri orang. Tepatnya di Hongkong. Sebuah negeri kecil di daratan Cina sana.

Rupanya teman saya yang mengirimkan VCD itu ingin berbicara kepada saya, bahwa tak semua perempuan yang bekerja di negara sekuler, secara otomatis akan ikut bergaya sekuler. Rupanya sahabat saya itu ingin meyakinkan saya, bahwa tidak semua TKW yang bekerja di negara yang berkiblat kepada barat, dengan serta merta akan ikut gaya barat juga. Yang ber-T-shirt ala Britney Spears yang nampak pusarnya. Atau ber-'blue jeans' ketat ala Nicole Kidman.

Tidak. Tidak semua. Masih banyak di antara mereka yang memegang teguh tradisi ketimuran. Masih banyak sahabat-sahabat kita yang dengan gigi geraham menggigit kuat-kuat ajaran Allah dan Rasulnya. Walaupun negara tempat mereka kerja diwarnai oleh sesuatu yang sangat jauh dari nilai keislaman.

Ya, paling tidak itulah yang ingin disampaikan sahabat saya. Saya mengingat sejenak beberapa e-mail yang dikirimkan kepada saya akhir-akhir ini. Ia menceritakan bahwa, di Hongkong lah, ia latihan memakai jilbab. Di Hongkong lah, ia belajar beribadah secara istiqamah. Di Hongkong lah, gadis muda itu beraktivitas dalam kegiatan Islami. Sesuatu yang tidak pernah ia ikuti di kampung halamannya. Bahkan di e-mail yang terahir, ia menuturkan, bahwa di Hongkong lah ia bisa bertatap muka dengan para da'i kondang Indonesia. Mendengarkan tausyiah sejuk dari AA Gym. Menikmati nasehat pencerahan jiwa dari Emha Ainun Nadjib. Larut dalam dzikir khusyu bersama Arifin Ilham. Mendampingi Neno Warisman menebarkan nada dan dakwah. Serta tenggelam dalam tangis bersama Hadad Alwi ketika mereka digiring oleh ustadz muda itu dalam indahnya bershalawat kepada Nabi. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Dan saya makin asyik saja setiap kali menerima kabar tentang aktifitas keislaman di sana. Yang rutin dikirimkan sahabat saya via e-mail. Yang akhirnya mau tidak mau mengingatkan saya kepada dakwah Rasulullah empat belas abad lalu. Setelah Mekkah ditaklukkan kembali oleh kaum muslimin, dan masuknya suku paling berpengaruh di Arab masa itu, yaitu suku Quraisy, memang tidak bisa dipungkiri lagi. Bahwa suku-suku lain pun ikut berbondong-bondong masuk Islam. Dan sejak itulah, duta-duta Islam menyebar ke barat, timur, utara, selatan bagaikan anak panah. Yang tujuannya tak lain adalah menebarkan kalimat Allah di muka bumi ini. Dan alhamdulillah, kebetulan saya yang lahir di Jawa, ikut menikmati cahaya Allah, Islam ini, tentu atas kegigihan para "agen Allah" di tanah Jawa.

Dan kini, menjelang abad ke 15 Hijriah, keturunan muslim Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya, yang sedang mengais rezeki di daratan Tiongkok itu, rupanya tak hanya sekedar "fastabikhul fulus", berlomba-lomnba mencari uang. Tapi lebih dari itu mereka justru mampu ber-fastabikhul khairat, berlomba dalam kebaikan. Terbukti, betapa padatnya aktifitas keislaman yang setiap minggu digelar di metropolitan itu. Padahal kebanyakan dari mereka adalah yang pekerjaan sehari-harinya sebagai pembantu rumah tangga.

Tak mustahil, jika suatu saat, satu persatu, majikan mereka juga akan tertarik pada Islam yang ditampilkan saudara-saudara kita. Tak mustahil jika suatu saat mereka akan bersyahadat, karena melihat kelembutan akhlak sahabat-sahabat kita. Tak mustahil juga, para majikan di sana akan terseret dengan alunan tadarus Al-Qur'an dari seorang TKW yang bekerja di rumah mereka, yang biasa dibaca secara sembunyi-sembunyi. Sebab kitapun tahu bahwa Umar bin Khattab meneguk segarnya Islam, bukan karena tajamnya pedang. Tapi lantaran alunan lembut ayat-ayat Allah yang dibaca saudara perempuannya. Tak mustahil jika suatu saat daratan Tiongkok yang maha luas itu akan tertancap panji-panji Islam yang dimulai dari Hongkong. Allah Maha Berkehendak.

Allah SWT menurunkan ayat kepada Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan tertakluknya kembali Mekkah dan berbondong-bondongnya kabilah Arab masuk Islam. Peristiwa ini dilukiskan dengan indah dalam Al-Qur'an.

"Apabila pertolongan Allah dan kemenangan itu telah datang, dan telah kamu lihat manusia dengan berduyun-duyun memasuki agama Islam, maka bertasbihlah memuji Tuhanmu dan meminta ampunlah kepada-Nya, sesunguhnya Allah itu maha penerima taubat." (An-Nashar: 1-3)

Hongkong, sebuah negara kecil yang selama bertahun-tahun, atau bahkan berabad dicekoki, dijejali ideologi komunis, ternyata sekarang terdapat bacaan Al-Quran, ada alunan takbir, tahmid, tahlil, salawat, dan juga syahadat dalam prosesi pengislaman saudara kita.

Hongkong, sebuah metropolitan yang sejajar dengan Singapura, dan kota-kota besar dunia lainnya, yang mode pakaian perempuannya berkiblat ke barat, ternyata masih ada jilbab menghiasi bumi sana.

Hongkong, yang merupakan pusat bisnis dunia, yang banyak para konglomerat dunia mengendalikan bisnisnya dari sana, ternyata masih ada orang berdzikir mengingat Allah. Di tengah kebanyakan orang hanya berpikir tentang keuntungan dunia saja.

Rupanya Allah sedang menempatkan agen-agennya di sana. Dan agen itu bukan sosok-sosok berbadan tinggi, berhidung mancung dan berjenggot tebal ala Timur Tengah. Bukan juga para akademisi dan komunitas dari universitas Islam yang terkenal. Namun agen itu adalah saudara-saudara kita, yang sering kita sebut, pahlawan devisa, tenaga kerja wanita yang sedang berjuang memperbaiki nasib sendiri, keluarga, dan tentu bangsa dan negara. Tapi, itulah kehendak-Nya. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh siapapun. Baik itu sejarawan Islam dari Al-Azhar, Ummul Qura, Oxford, Leiden, Cambridge, Ohio State, UI, UGM, ataupun universitas-universitas mahsyur lainnya.

Dan bagi mereka yang punya waktu luang banyak, ekonomi mapan, ilmu agama ada, tentu perlu iri terhadap sahabat-sahabat kita itu. Iri untuk menjadi agen Allah. Kenapa mereka bisa, di tengah kesibukan mereka bekerja melayani majikan hampir di sepanjang waktu mereka?

Brunei, Mei 2005
(Bravo! Untuk seorang sahabat di Hongkong. Teruskan perjuanganmu!)

www.eramuslim.com

11.1.08

Cerita Remaja Idola



Periodisasi pendidikan dan tumbuh kembang anak dalam Islam dikenal dalam beberapa tahap : 1. pendidikan anak dalam kandungan 2. sejak lahir hingga usia dua tahun 3. dua tahun hingga mumayyiz 4. mumayyiz hingga baligh 5. baligh sampai remaja 6. usia remaja hingga menikah.

Menariknya, usia remaja diletakkan setelah baligh. Padahal secara hukum, baligh itu mukallaf artinya secara pribadi ia sudah mandiri dan bertanggung jawab dihadapan hukum, baik dalam muamalah (sosial kemasyarakatan), jinayah (pidana), munakahah (pernikahan), iqtishadiyah (ekonomi), siyasah (politik) apalagi dalam hal ibadah.

Otomatis remaja Islam adalah sosok yang siap mandiri dalam segala hal. Cerdas, matang, berdikari, itulah sosok remaja Islam. Di banyak generasi Islam sebelum sekarang, apalagi di era nubuwwah dan Khulafaurrasyidin, sosok remaja sekaliber di atas amat banyak dijumpai.

Tak Takut Presiden

Adalah Abdullah bin Zubair, seorang anak kecil bermain teman-temannya di jalan. Tiba-tiba nampak 'Presiden' Umar bin Khattab mendekat melalui jalan itu. Anak-anak kecil itu berlarian, hanya Abdullah saja yang tidak.

"Mengapa kamu tidak ikut lari bersama teman-temanmu?" tanya Presiden.

"Mengapa harus lari? Aku tidak melihat jalan ini sempit sehingga perlu dilonggarkan untukmu dan aku bukan orang berbuat salah sehingga harus takut kep[adamu?" Itulah keberanian dan kematangan emosional seorang anak Islam.

Sepak Bola Maut

Sekelompok anak kecil sedang bermain bola. Ditendang terlalu keras, bola melesat ke pekarangan rumah seorang Yahudi. Nampak oleh mereka, bola diambil sang penghuni rumah lalu disembunyikan. Anak-anak datang lalu berteriak :"Demi Allah dan Rasulullah, tolong bolanya dikembalikan".

Yahudi keluar dan mencaci maki Allah dan Rasul-Nya. Anak-anak marah, serentak mereka merangsek, memanjat pagar rumah yang tinggi lalu menyerang sang Yahudi bertubi-tubi hingga akhirnya ia meninggal.

Peristiwa ini terdengar oleh khalifah Umar :"Alhamdulillah, baru kali ini aku mendengar peristiwa yang begitu membanggakan hatiku".

Keberanian Remaja Puteri

Kali ini remaja puteri. Namanya Asma binti Abu Bakar. Menghindari sergapan kafir Quraisy, Rasulullah saw dan Abu Bakar ra, secara diam-diam meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Di tengah intaian Quraisy, kedua orang ini bersembunyi di gua Tsur sejenak. Selama dalam persembuyian, seorang remaja puteri tanpa kenal takut dan lelah, pergi ke gua Tsur dua kali dalam semalam mengirim logistik. Ketika tak ada tali untuk mengikat perbekalan, ia pun membelah ikat pinggangnya menjadi dua, satu untuk ikat pinggangnya, satunya untuk perbekalan."Semoga Allah mengganti ikat pinggangmu ini dengan dua ikat pinggang di surga," kata Nabi. Maka remaja puteri ini pun dikenal sebagai "Dzatun Nithaqain" (wanita pemilik dua ikat pinggang).

Pegulat VS Pemanah

Dua anak kecil ditolak Nabi ketika mendaftar jadi pasukan perang, Rafi' bin Khadij dan Samurah bin Jundab. Setelah melalui proses negosiasi yang alot, akhirnya Rafi' diijinkan karena ternyata ia ahli memanah.Samurah kecewa berat. Dengan tekad penuh keberanian ia menantang duel Rafi' di hadapan Nabi. Keduanya bergulat. Samurah ternyata menang. Ia pun bangga diperbolehkan ikut berperang.

Ketua Diplomat Hijaz

Saat Umar bin Abdul jadi presiden, datang delegasi dari Hijaz. Majulah seorang anak kecil kurang sebelas tahun umurnya menjadi juru bicara. Umar berkomentar,"Mundurlah kamu. Hendaklah maju orang yang lebih tua dari kamu."

Anak itu berujar,"Semoga Allah menguatkan Engkau wahai Amirul Mukminin. Seseorang itu bergantung kepada dua anggota tubuhnya yang kecil, yakni hati dan lisannya. Apabila Allah memberi lisan yang benar dalam berbicara dan hati yang terjaga maka dia berhak maju untuk bicara. Kalaulah kebenaran perkara, wahai Amirul Mukminin, tergantung pada usia maka ada orang yang lebih berhak dari pada engkau untuk menjadi khalifah."

Disadur dari Al-Falah edisi September 2001,hal. 5

7.1.08

Kisah Indah Sang Khalifah



Siang di bumi Madinah, suatu hari. Matahari tengah benderang.

Teriknya sungguh garang menyapa hampir setiap jengkal kota dan pepasir lembah. Jalanan senyap, orang-orang lebih memilih istirahat di dalam rumah daripada bepergian dan melakukan perniagaan. Namun tidak baginya, lelaki tegap, berwajah teduh dan mengenakan jubah yang sederhana itu berjalan menyusuri lorong-lorong kota sendirian. Ia tidak peduli dengan panas yang menyengat. Ia tak terganggu dengan debu-debu yang naik ke udara. Ia terus saja bersemangat mengayun langkah. Sesekali ekor matanya berkerling ke sana ke mari seperti tengah mengawasi. Hatinya lega, ketika daerah yang dilewatinya sentosa seperti kemarin.

Hingga ketika ia melewati salah satu halaman rumah seorang penduduk, tiba-tiba ia berhenti. Langkahnya surut. Pandangannya tertuju pada anak kecil di sana. Ditajamkan pendengarannya, samar-samar ia seperti mendengar suara lirih cericit burung. Perlahan ia mendatanginya dan dengan lembut ia menyapa bocah laki-laki yang tengah asyik bermain.

"Nak, apa yang berada di tanganmu itu?" Wajah si kecil mendongak, hanya sekilas dan menjawab.

"Paman, tidakkah paman lihat, ini adalah seekor burung," polosnya ringan. Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan, "Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika mahluk kecil ini teraniaya."

"Bolehkah aku membelinya, nak? Aku sangat ingin memilikinya," suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia berkata, "Baiklah paman," maka anak kecil pun segera bangkit menyerahkan burung kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.

Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya seraya bergumam senang, "Dengan menyebut asma Allah yang Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah...terbanglah..."

Maka sepasang sayap itu mengepak tinggi. Ia menengadah hening memandang burung yang terbang ke jauh angkasa. Sungguh, langit Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya yang seringkali bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah suara lelaki dewasa yang membuatnya pergi dengan langkah tergesa. "Nak, tahukah engkau siapa yang membeli burung mu itu? Tahukah engkau siapa lelaki mulia yang kemudian membebaskan burung itu ke angkasa? Dialah Khalifah Umar nak..."

***

Malam-malam di kota Madinah, suatu hari.

Masih seperti malam-malam sebelumnya, ia mengendap berjalan keluar dari rumah petak sederhana. Masih seperti malam kemarin, ia sendirian menelusuri jalanan yang sudah seperti nafasnya sendiri. Dengan udara padang pasir yang dingin tertiup, ia menyulam langkah-langkah merambahi rumah-rumah yang penghuninya ditelan lelap. Tak ingin malam ini terlewati tanpa mengetahui bahwa mereka baik-baik saja. Sungguh tak akan pernah rela ia harus berselimut dalam rumahnya tanpa kepastian di luar sana tak ada bala. Maka ia bertekad malam ini untuk berpatroli lagi.

Madinah sudah tersusuri, malam sudah hampir di puncak. Angkasa bertabur kejora. Ia masih berjalan, meski lelah jelas terasa. Sesekali ia mendongak melabuhkan pandangan ke langit Madinah yang terlihat jelita. Maka ia pun tersenyum seperti terhibur dan memuja pencipta. Tak terasa Madinah sudah ditinggalkan, ia berjalan sudah sampai di luar kota. Dan langkahnya terhenti ketika dilihatnya seorang lelaki yang tengah duduk sendirian menghadap sebuah pelita.

"Assalamu'alaikum wahai fulan," ia menegur lelaki ini dengan santun.

"Apakah yang engkau lakukan malam-malam begini sendirian," tambahnya. Lelaki itu tidak jadi menjawab ketika didengarnya dari dalam tenda suara perempuan yang memanggilnya dengan mengaduh. Dengan tersendat lelaki itu memberitahu bahwa istrinya akan melahirkan. Lelaki itu bingung karena di sana tak ada sanak saudara yang dapat diminta pertolongannya.

Setengah berlari maka ia pun pergi, menuju rumah sederhananya yang masih sangat jauh. Ia menyeret kakinya yang sudah lelah karena telah mengelilingi Madinah. Ia terus saja berlari, meski kakinya merasakan dengan jelas batu-batu yang dipijaknya sepanjang jalan. Tentu saja karena alas kakinya telah tipis dan dipenuhi lubang. Ia jadi teringat kembali sahabat-sahabatnya yang mengingatkan agar ia membeli sandal yang baru.

"Umm Kultsum, bangunlah, ada kebaikan yang bisa kau lakukan malam ini," Ia membangunkan istrinya dengan nafas tersengal. Sosok perempuan itu menurut tanpa sepatah kata. Dan kini ia tak lagi sendiri berlari. Berdua mereka membelah malam. Allah menjadi saksi keduanya dan memberikan rahmah hingga dengan selamat mereka sampai di tenda lelaki yang istrinya akan melahirkan.

Umm Kultsum segera masuk dan membantu persalinan. Allah Maha Besar, suara tangis bayi singgah di telinga. Ibunya selamat. Lelaki itu bersujud mencium tanah dan kemudian menghampirinya sambil berkata, "Siapakah engkau, yang begitu mulia menolong kami?"

Lelaki ini tidak perlu memberikan jawaban karena suara Ummi Kultsum saat itu memenuhi lengang udara, "Wahai Amirul Mukminin, ucapkan selamat kepada tuan rumah, telah lahir seorang anak laki-laki yang gagah."

***

Sahabat, betapa terpesona, mengenang kisah indah Khalifah Umar bin Khatab. Ia adalah seorang pemimpin negara, tapi sejarah mengabadikan kesehariannya sebagai orang sederhana tanpa berlimpah harta. Ia adalah orang yang paling berkuasa, tapi lembaran kisah hidupnya begitu penuh kerja keras dalam mengayomi seluruh rakyatnya. Ia adalah orang nomor satu tapi siang dan malamnya jarang dilalui dengan pengawal. Ia seorang penyayang meski kepada seekor burung. Ia sanggup berlari tanpa henti demi menolong seorang perempuan tak dikenal yang akan melahirkan. Dan ia melakukannya sendiri. Ia melakukannya sendiri.

***