10.12.08

'Tuk Some One yang Menaruh Topi di Lokerku

Masih segar dalam ingatanku, pagi itu aku duduk dengan ta'dzim bersama santri-santri di serambi masjid sebuah pesantren untuk mengikuti aktifitas mengaji. Ini adalah kegiatan rutinku sebelum berangkat ke sekolah. Saat itu aku duduk di kelas 2 SMA. Seperti biasa, suara mbah kyai yang kalem membimbing kami menyelami mutiara-mutiara kalam kitab yang kami kaji. Pen tutulku tak henti menuliskan goresan abjad 'arobi di bawah lafadz yang dimaknai oleh mbah kyai. Tarian miring yang kutuliskan kadang terhenti bila mbah kyai berhenti membaca, beliau menyela. Menaburkan penjelasan indah dari apa yang baru saja dibacakannya.

Seperti biasa, kegiatan pagi itu berlangsung selama satu jam, mulai pukul 05.00 berakhir jam 06.00. Setelah itu, adatnya santri-santri bersiap diri dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang hendak kerja, kuliah, sekolah, atau sekedar piket di pesantren.

Tapi, hari itu ternyata agak berbeda dengan biasanya. Mbah kyai tak langsung beranjak dari tempat beliau. "Wahai...murid-muridku semuanya ...," dengan syahdu beliau memulai wejangannya. Suasana begitu tenang. Ratusan santri yang hadir dengan anteng menunggu apa yang hendak disampikan kyainya. "Ketaatan santri kepada kyai, itulah prinsip dasar penuntut ilmu yang memang selayaknya dipegang teguh oleh seorang santri. Jika diibaratkan, santri itu bagaikan malaikat ...," petuah suci nan sakti itu berkelebatan menembus setiap hati para santri, menggerus segala kepongahan ilmu, melahirkan tawadlu' yang demikian dalamnya. Aku sendiri juga terdiam, terbawa suasana. Sekian dari apa yang beliau sampaikan, salah satu apa yang aku camkan adalah petuah beliau kepada santri untuk memakai tutup kepala. Mungkin, terdengar aneh dan sepele. Tapi, begitulah peraturan di pesantren kami. "Biar ada bedanya dengan yang bukan santri. Penutup kepalanya sendiri bukan berarti harus kopyah, boleh juga memakai topi," demikian wanti-wanti salah seorang pengurus kepadaku suatu hari. Namun, apa pun kata mereka, aku rasa apa pun dhawuh mbah kyai bila itu memang merupakan anjuran agama ya harusnya sami'na wa atho'na. Dan hingga sekarang, untuk masalah menutup kepala ini aku tetap berusaha menjaga meski kadang kala juga terkena penyakit plin-plan.

Topi biru kumal dan bagian depannya bergambar lambang Nike, itulah satu-satunya topi yang ku punya. Ke mana pun pergi, tak lupa ia kubawa. Kecuali jika aku memang malas membawanya. Namun, jika teringat petuah mbah kyai di atas, sekonyong rasa malas itu pun sirna. Tapi akibatnya, topi biru itu pun makin kumal dan baunya nggak karuan. Maklum saja, aku memang jarang mencucinya. Terkadang, aku sendiri juga heran. Kenapa ya untuk urusan sekecil itu saja malasnya tak karuan?

Hingga akhirnya, selepas Idul Adha Selasa (9/12) kemarin, aku melihat sesuatu menjorok dari lokerku. Saat itu hendak berangkat kuliah. Heran. Segera kuambil benda itu dan... eh? ternyata itu topi. Plastik yang membungkusnya pun masih rapi. Ku cium topi itu, hmmm...baunya pun masih baru. Kutanyakan pada pak Johan, jawabnya,"Paling Emal yang salah memasukkan. Lokernya kan di atasmu." Emal datang, dia pun kutanya. Jawabannya ternyata sama saja, ia tak tahu.

Ah, masa bodoh. Siapa pun orang yang memasukkannya, ia pasti memang sengaja. Apalagi seingatku, sebelum pulang kampung untuk perayaan Idul Adha, aku sudah memastikan bahwa lokerku tertutup rapat. Dan yang pasti, Mr/Mrs X itu adalah salah satu dari kru kami. Topi ini halal kupakai.

Teruntuk sang pemberi topi yang misteri, aku mengucapkan beribu terima kasih kepadamu. Apapun niatanmu, semoga apa yang telah kau berikan menjadi amalan yang murni di sisi-Nya. Shodaqoh sirri adalah shodaqoh yang mulia. Apalagi, meski secara tak sengaja, kau telah memberikan sesuatu yang dengannya orang yang kau beri dapat istiqomah dengan identitasnya, berusaha menepati apa yang telah diwejangkan sang guru kepadanya. Bila si kikir yang masuk neraka saja mampu mengusir api jahannam dengan kibasan satu-satunya sapu tangan yang sempat ia shodaqohkan, kau berhak jauh lebih dari itu dengan amal-amalmu, tak terkecuali dengan sepotong topi itu. Sekali lagi, terima kasihku kuhaturkan untukmu.

Tapi kawan. Aku tak memungkiri, ada pula rasa penasaran. Meski tak memaksa, alangkah baiknya bila engkau mengaku. Yah, setidaknya bila memang tak bersedia, jawablah tulisan ini dengan meninggalkan sepatah kata komentar di bawahnya. Mau kan? Kau berhak atas pahalamu, ungkapan terima kasih dariku, sekaligus balas budi dariku untukmu. Apakah itu semua belum cukup untukmu? padahal aku hanya ingin tahu : siapakah dirimu?

9.12.08

Suara Merdu Qori'ah Itu Kutemukan Lagi



Dulu, ketika aku masih SMP tak sengaja kutemukan sebuah kaset sholawat bergambar background muslimah cilik dan barisan bocah-bocah santri pada foregroundnya. Aku senang bukan kepalang. Maklum, musik sholawat memang kegemaranku. Meski tak punya koleksi, aku sudah merasa cukup dengan koleksi kaset kang-kang di pondok tempat aku tholabul ilmi. Tak hanya kaset sholawat malah, ada juga kaset-kaset qori' nasional dan internasional.

Kubolak-balik kertas pembungkus kaset itu. Di sana tertera sekilas profil grup sholawat dan vokalisnya. Wow, luar biasa. Aku sungguh terkagum-kagum. Sekilas kubaca, vokalisnya adalah juara cilik MTQ nasional dan ... bahkan ia mendapat pengakuan dari pemerintah Mesir sebagai Ummi Kultsumnya Indonesia. Di kertas kasetnya terpampang gambar piagam dengan tulisan arab di atasnya. Subhanallah ... siapa sih qoriah cilik luar biasa ini? kubaca lamat-lamat namanya, MA...YA...DA...

Kuakui, aku jatuh cinta dengan suara Mayada saat mendengar lantunan nadanya saat melagukan syair-syair Ummi Kultsum. "Memang sangat pantas jika dijuluki sebagai Ummi Kultsumnya Indonesia," pikirku saat itu. Tapi sangat disayangkan, hanya saat itulah aku dapat menikmati suara indah Mayada. Karena kaset tersebut adalah kaset pinjaman, aku tak bisa berlama-lama menikmatinya. Dan hingga tamat SMP, masuk SMA, tamat SMA, masuk perguruan tinggi ... aku tak pernah lagi mendengar suara indahnya. Bila dihitung, sekitar delapan tahun aku tak mendengar nama Mayada.

Seperti biasa, hari ini aku iseng-iseng membuka folder share informatika yang berisi lagu-lagu. Kupilih yang kategori islami. Di dalamnya terdapat folder-folder lagi, macam-macam pula namanya, ada "Arabic Music and Video", "Arabic Song", "Asmaul Husna by feree", "HADDAD ALWI-The Way Of Love", "lagu-lagu islamiah", "Mayada", ... Belum sempat meneruskan membaca folder yang lain, aku tercenung dengan nama folder yang kubaca barusan.

Sudah berkali-kali aku sebenarnya membuka folder share musik. Setiap membaca nama folder ini, Mayada, aku awalnya tak ingin menyentuhnya. Tapi hari itu lain. Mayada? sekali lagi ku eja nama itu. Dan ingatan saat aku menemukan kaset di samping pintu asrama tempat sorogan di pondok itu pun samar-samar terbuka. Betulkah ini Mayada yang kasetnya kutemukan dulu? kubuka folder itu dan di sana tertera sederetan judul sholawat dalam format mp3. Aku masih tak percaya. Kucoba search bahwa nama yang kuingat sebagai Ummi Kulstumnya itu memang benar-benar Mayada.

Dengan tergesa kuputar file mp3 yang berjudul "Ya Badrotim". Dan ... oh ... suara khas itu ... benar-benar Mayada ... huhuhuhuhu. Akhirnya ... akhirnya ... suara indah qoriah cilik itu (dulu, sekarang ia sudah besar tentunya), Ummi Kultsumnya Indonesia, Umi Mayadah, alunan ghoyahnya kutemukan lagi.