24.5.07

Di atas lembarmu











Kalut berkabut
Hatiku tersudut
Merenung tiap petuah terpaut
Kalam fush-hamu begitu indah terurut
hingga tak terasa
bening air mata
mengalir melaut

aku tertunduk
tenggelam dalam lautan cahaya
ku terpesona
oh betapa indahnya
tak terasa
pongah hatiku pun terduduk
mengakar lapuk

di atas lembar sucimu
ku seakan tertodong pedang
aku pun menangis mengiba
Ya Rabbanaa...
untaian kalam-Mu
tajam menghujam
berikan hamba ampunan
serta kekuatan
tuk menjaga nur suci Al-Quran

segan ...
atau lebih bahkan
meski teruntai dalam tulisan
dan tersenandung dalam kalam
kebenaran yang kau pancarkan
ibarat sang pengawal perkasa
penjaga qolbu insan beriman
ibarat kurir raja
penunjuk jalan kemuliaan
tuk capai Ridlo-Nya

By : Labib Fayumi
TIf-ITS

23.5.07

Kebangkitan ke-2

Lupa daratan, itulah mungkin ungkapan yang tepat bagi generasi bangsa saat ini. Setelah bebas dari cengkeraman euforia orde baru yang telah menancap selama 32 tahun, wawasan akan kebangsaan mengalami pergeseran. Semangat kebangkitan yang dulu dikobarkan pahlawan tak lagi menyala, berangsur padam malah. Apakah ini artinya makna kebangkitan nasional perlu diredefinisikan kembali?

Secara faktual, kebangkitan nasional ditandai dengan berdirinya sebuah organisasi pergerakan yang dimotori oleh Dr Wahidin Sudirohusodo pada 20 Mei 1908. Entah kesengajaan atau bukan, pergerakan yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan tersebut suatu hari menjelma menjadi bayi kecil reformasi Indonesia pertama untuk menuju Indonesia merdeka, yakni Budi Utomo.

Dan sejak itu, angin pergerakan pun mendapatkan ruhnya. Hingga hari bersejarah itu pun datang, kemerdekaan Indonesia dideklarasikan.

Betapa semangat persatuan yang dimiliki bangsa kita kala itu benar-benar membawa sebuah perubahan. Kebersamaan yang membawa kebangkitan, ya itulah apa yang telah dicerminkan oleh teliksandi bangsa ini.

Setengah abad telah berlalu, segala usaha telah dilakukan untuk membesarkan Indonesia. Namun, ibarat terlena dalam buaian, nilai-nilai yang telah diwariskan pun tanpa sadar terbuang, sedikit demi sedikit. Kemanakah jiwa pahlawan yang dulu kita punya?Itulah pertanyaan yang perlu dilontarkan. Boleh saja kita sekarang berkata, "Kita telah merdeka", tapi apa berarti dengan "kemerdekaan" itu kita kehilangan semangat pahlawan kita?Bukti nyata, lihatlah bagaimana negara ini terombang-ambing menghadapi masalah-masalah ekonomi, politik, dan budaya. Sebut saja, fenomena privatisasi aset negara, penjualan aset negara ke pihak asing, KKN yang merajalela, semakin banyaknya usaha disintegrasi yang mengancam, belum lagi interfensi pihak asing di berbagai bidang baik yang terselubung atau pun terang-terangan, dan masih banyak lagi. Melihat itu semua apakah kita hanya akan berdiam diri saja?Tidak, semangat kebangkitan harus kembali digelorakan.

Memang, dilihat dari sekup yang melingkupi, "kebangkitan" untuk saat ini memiliki pewacanaan yang berbeda jika dibandingkan dengan era lama. Dimensi kebangkitan dalam lingkup kekinian memiliki sekup yang lebih luas karena segala "penjajahan" yang ada sekarang tak lagi hanya dalam satu arah tapi multidimensi. Sehingga dapat diperkirakan bahwa menghembuskan kembali jiwa kebangkitan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kurangnya rasa cinta tanah air menjadi kendala utama.

Merupakan sebuah fenomena menarik manakala para ahli kita sibuk berwacana apa manfaatnya pelajaran sejarah bangsa, tunas-tunas bangsa ini seakan asing akan rumahnya sendiri, lupa akan asal-usulnya serta jati dirinya. Lebih parah lagi para orang tua malah berbangga jika putra-putri kecil mereka bersekolah di luar negeri yang notabenenya tak berbudaya Indonesia. Cinta tanah air mana yang ditanamakan?

Sebuah kesalahan fatal, model penanaman "hubbul wathon" kita mengalami kegagalan (memangnya pernah dirumuskan?). Jika sudah begini apa jadinya Indonesia nanti? Dimana jargon "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenang pahlawannya" yang dulu sering didengungkan?Menangis, menangis, benar-benar menangis arwah para pahlawan melihat polah kita.

Wahai kawan, akhirnya marilah kita renungkan, ketika melihat Sang Saka berkibar gagah di angkasa apa yang kita pikirkan? ketika lagu Indonesia Raya berkumandang apa yang kita rasakan? Sungguh, dibalik itu semua semangat jiwa-jiwa suci pahlawan senantiasa berkobar, meneriakkan api kebangkitan. Bergeraklah... wahai pemuda Indonesia. Gelorakan semangat kebangkitan....!

By : Labib Fayumi
Teknik Informatika ITS


Catatan Kaki :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/24/0803.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebangkitan_nasional

21.5.07

Rumput Bisu











Di antara tonggak besi tua
dengan cat warna hijau muda
rumput kecil julur menantang
tegak miring ke arah awan
berhiaskan rona coklat tua
di antara sulur hijaunya

rumput kecil tak peduli
bisu terdiam
seakan tenggelam dalam keasyikan
menikmati panas tersiram

kasihan memang
padahal kawan
dalam bisu
rumput kecil tersedu
rintih lirih senggak meratap

rumput kecil tetap bisu
benar-benar membisu
pikirnya ...
ratap tiada berguna
meski panas senyap menyergap

protes nian kan diabaikan
meski ia beralaskan semen kusam

pun orang-orang
hanya beralasan punya urusan

akhirnya ...
hanya satu
yang rumput bisu mampu
yaitu ...
tunduk berdoa

By: Labib Fayumi
Teknik Informatika ITS
"Ketika tertinggal kereta, huaaa ..."

16.5.07

Siapakah dia?











aku bertanya
heran, tanpa jawaban
sekaligus penasaran
ku bisa hanya menduga-duga
siapa dia gerangan

kala itu
ku seronok bertemu
tanpa sengaja
tanpa rencana
hanya semu
dan aku pun tak mengaku

padamu
kutanya asma
dan juga aina
engkau pun sama
bukankah biasa?
dan aku anggap itu bisu

Namun
semampang hari berjalan
aku pun menjadi tertegun
itu ...
ternyata hanya awalan?

bimbang ...
segan ...
berdosa ...
itu yang kurasa
ku tersilau
sembari menunduk malu
auramu ...
kurasa sungguh berbeda
atau hanya perasaanku?

Oh Tuhan ...
lenguhku sambil mengerang
berikanlah daku kekuatan
satu telah kuputuskan
aku kan bertahan

By : Labib Fayumi
Teknik Informatika ITS

14.5.07

Kekuatan

Kekuatan adalah simbol dari sebuah kondisi yang mungkin diidamkan oleh setiap orang. Karena ia merupakan fitrah yang tertanam dalam jiwa manusia.

Islam, karena kesesuaiannya dengan fitrah, juga menganjurkan umatnya untuk meraih kekuatan. Tapi sekalipun begitu, Islam mempunyai persepsi tersendiri tentang kekuatan. Kekuatan dalam pandangan Islam, dipermukaan merupakan pancaran dari kekuatan iman. Tak ada lagi kekuatan yang menandingi kekuatan ini. Sebab hulu dan hilir semua makna kekuatan, sesungguhnya terpatri dalam dasar jiwa manusia. Maka setiap penguatan pada jiwa, akan berarti –dengan sendirinya- penguatan pada semua sisi kehidupan. Sedang penguatan pada jiwa hanya dapat dilakukan oleh iman atau aqidah.


Pada hakikat terakhir inilah Islam membangun kekuatan. Dalam iman, ada dua unsur yang bertemu: Ilmu (Tsaqofah) dan Irodah (kehendak).Maka kekuatan dalam skala individu adalah paduan kekuatan ilmu dan kehendak. Seorang alim yang tidak memiliki

kehendak kuat hanya akan menjadikan ilmunya sebagai barang dagangan. Tapi kehendak yang kuat tanpa bimbingan ilmu, juga merupakan awal dari kefatalan. Jadi jelmaan dari ilmu dan irodah dalam realitas adalah kalimat ini: Amanuu Wa’amilussholihaat.

Makna ini kalau dibawa dalam skala jama’i (kolektif), terlihat dalam kemampuan takhtith (perencanaan). Sedang kekuatan irodah, dalam skala ini juga terlihat dalam kemampuan tanfiz (realisasi).

Dalam kedua skala ini, Al-‘amalussholih adalah buah dari ilmu dan irodah. Terkadang potensi hamasah (semangat) dan dorongan tanfiz terlihat begitu kuat dalam suatu kelompok. Tapi tiba-tiba potensi itu raib, sia-sia, atau bahkan hancur, karena dimanfaatkan untuk perencanaan yang tidak matang. Tapi sering pula kita menjumpai suatu kelompok memiliki potensi pemikiran dan perencanaan yang matang dan mumpuni, lalu tiba-tiba kecermelangan konseptual itu raib, kering atau bahkan mati karena ia tidak didukung oleh potensi tanfiz yang seimbang dengan kecermelangan konseptualnya.

Sesungguhnya pada kedua penyakit inilah terletak semua sumber kelemahan harokah islamiyah. Kelemahan- atau mungkin juga ketidakpedulian- pada tsaqofah dan ikmu membuat kita melangkah dengan perencanaan seadanya. Kalau ini diteliti lebih dalam, kita menemukan bahwa hasil yang telah kita capai, selalu jauh lebih kecil dibanding waktu, tenaga-jiwa dan pikiran serta fisik –dan harta atau materi yang kita berikan atau korbankan.

Sementara itu segala keagungan, universalisme, dan integralitas konseptual yang dimiliki Islam, agama kita, kadang terkesan seperti tak berpengaruh dalam perbaikan kondisi dan realitas kita. Sebagian dari sebabnya ketiakpahaman kita terhadap Al-Quran dan As-Sunnah. Tapi sebagian lain, ada pada kehendak yang keropos. Ini membuat kehilangan ‘kecerdasan’ dan ‘kreativitas’ (ibda’) dalam mengaplikasikan Islam, atau dalam melukis potret kehidupan kita.

Semua pembicaraan tentang kekuatan, dengan begitu, harus berhulu dan berhilir di sini : tentang kekuatan ilmu dan irodah pada skala individu, dan tentang kekuatan perencanaan dan aplikasi dalam skala komunitas.

Di sadur dari :

Inthilaq No.1 Th. II 4 Feb 1994 hal 64

11.5.07

Serangan Fajar UISU, Sebuah Sejarah Kelam

Di tengah gencar-gencarnya pihak pemerintah melakukan reformasi pendidikan, justru sebuah drama kelam terjadi di sebuah institusi perguruan tinggi, Universitas Islam Sumatera Utara. Hanya permasalahan perebutan pimpinan, mahasiswa, masyarakat, pelajar semua kena batunya. Apalagi yang mengerikan, dalam drama ini aksi bak G30S/PKI seperti terulang kembali. Tapi, mengapa aparat polisi seakan berdiam diri? Ada udang dibalik batukah?

Entah siapa pihak yang benar atau yang salah dalam masalah sengketa tapi ketika melihat kebrutalan tersebut tentu secara naluri orang akan menentukan kepada siapa dia akan memihak.

Bukankah biadab namanya manakala ratusan orang (150-200) berseragam satpam yang membawa pentungan dan clurit merangsek masuk ke dalam kampus dan menghajar (kalau tak ingin dikatakan membantai) setiap orang yang ia temui di dalamnya?bahkan orang yang hedak sholat shubuh pun mereka bacok. Sungguh la'natullah. Begitukah namanya penyelesaian?

Diakui atau tidak peristiwa ini telah menjadi sejarah kelam dari sebagian kecil institusi pendidikan di Indonesia. Aktifitas belajar saudara kita pun (mahasiswa) terganggu dan UTS juga terpaksa ditunda. Sebagai bangsa yang menapaki kedewasaannya tentu kita tak ingin tragedi semacam itu terulang kembali. Karena banyak yang dirugikan di dalamnya. Di antaranya para warga sekitar yang menyambung hidup dengan berjualan di sekitar kampus akan terganggu, prosesi belajar mengajar mahasiswa terhambat, bukan saja mahasiswa saja ternyata ada sebagian yang menyebutkan pelajar SMA dan SMP pun terganggu studinya. Dapatkah kita bayangkan bagaimana jika mereka semua berdoa? Doa orang yang teraniaya, doa dari empat puluh orang saja dari mereka akan setara dengan doa seorang wali, langsung mustajab 'indallah.

Tapi entahlah wallahu a'lam, memang jika hati orang yang tak terketuk oleh hidayah ilahi, kekejaman apa pun yang ia lakukan tentu ia juga tak merasa.

Sekali lagi, jangan sampai tragedi ala PKI ini terulang kembali. Bukan sewajarnya jika instusi pendidikan dilawan dengan bacokan. Parahnya, kembali alasan kekuasan menjadi latar belakang. Wahai teman-teman, para mahasiswa berikan dukungan moral kalian, bukankah kalian sudah tahu siapa yang sepantasnya untuk dibela?

By : Labib Fayumi
Teknik Informatika ITS

9.5.07

Guru, masihkah kita bertata krama padanya?

Ketika masih TK? Siapakah yang mengajari kita menyanyi Indonesia Raya, menulis a, b, c? Guru. Saat kita SMP siapa yang mengajar kita Matematika, Bahasa Daerah, Muatan Lokal?Guru. Saat kita di taman baca Al-Quran siapa yang mengajari kita ngaji? Guru. Ya, orang yang mengajar kita disiplin ilmu adalah guru apapun istilahnya ustadz, ustadzah, sensei atau bahkan dosen sekalipun (Toh puncaknya kembali ke guru juga kan?Guru Besar).

Dalam khasanah ilmu adabiyah Islam, hormat kepada seorang guru/ustadz merupakan suatu kewajiban. Ilmu adalah suatu yang mulia di sisi Allah SWT. Dan karenanya manakala kita menuntut ilmu, kita juga harus memuliakan ahli ilmu tersebut. Atau jika tidak, ilmu yang akan anda dapat tak akan barokah(Begitu salah satu "dhawuh" seorang ulama).

Menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan manakala negara kita mereformasi sistem pendidikan yang ada, akhlak kepada guru pun turut tereformasi total. Entah siapa yang dijadikan panutan, guru kok sama dengan teman?

Heran, ketika seorang guru lewat, murid dengan tak acuhnya mengabaikan, pura-pura buta kepala. Dosen yang tak tampaknya nggak bisa pun dibantai oleh tanpa ampun oleh mahasiswanya dengan beragam pertanyaan. Kita pun sudah biasa lewat di depan mereka seolah-olah beliau bukan siapa-siapa. Masyaallah, di mana letak moral kita yang katanya menjunjung tata krama?

Diceritakan dalam kitab ta'limul muta'allim (jika tak salah) seorang ulama pernah nyantri pada seorang kyai. Pada suatu saat dimajlis ilmunya, sang kyai meminta santri tersebut mengambil pena di atas jendela di sampingnya. Apa jawab santrinya?"Jendela yang mana kyai?". Saking tawadlu'nya terhadap ilmu yang dipelajari sang santri lupa dengan dunia sekelilingnya. Luar biasa. Dan terbukti, pengabdiannya tersebut membawanya ke derajad ulama mulia.

Satu lagi, syahdan raja Harun Al-Rasyid mengamanahkan putranya kepada seorang ulama agar beliau mengajar anaknya ilmu akhlaq. Suatu saat Harun Arrasyid melihat putranya mengucurkan air timba untuk digunakan wudlu kyainya. Apa kata raja Harun?"Hai le (istilah jawanya), kenapa tidak sekalian kamu basuh dengan tanganmu anggota wudlu gurumu?".

Dari pengglan hikayat di atas dapat dilihat betapa agungnya kemuliaan akhlaq ulama terdahulu ketika mereka tholabul 'ilmi.

Lebih lanjut berbicara akhlaq kepada seorang guru mari kita dengar pengalaman imam Muhammad bin Abdullah bin Malik (Ulama nahwu dari al-isbaniy, andalusia) ketika mengarang kitab Al-fiyyah.

Diceritakan bahwa ketika mengawali mengarang kita ALfiyyah beliau telah mengumpulkan ide-ide cemerlang untuk kitabnya. Bahkan saking percaya dirinya syaikh ibnu malik menyebutkan dalam bait ke-4 nadzomnya (Alfiyyah terdiri dari kurang lebih 1050 nadzom) bahwa kitabnya lebih sempurna dari karangan gurunya.

"Wataqtadlii Ridlom Bighoiri Sukhthi Fa-iqotan Alfiyyatabni Mu'thi"

Dan apa yang terjadi?Baru saja beliau selesai menulis nadzom tersebut, hilanglah semua ide yang telah beliau kumpulkan dari kepala beliau alias blank. Dan akhirnya syaikh Ibnu Malik menyadari bahwa beliau telah "kurang ajar" kepada gurunya. Dan setelah berdoa beliau meneruskan baitnya dengan bait ketawadluan :

"Wahuwa bisabqin haa-izun tafdliilaa Mustaujibun Stanaa-iyal Jamiilaa"

Dan kembalilah ide-ide beliau sebelumnya menghilang. Wallahu a'lam.

Itulah sekelumit kisah dari ibnu malik. Banyak yang dapat kita ambil di dalamnya. Tinggal bagaimana penyikapan kita selanjutnya.


Labib Fayumi
Teknik Informatika ITS

Bukan Institusi Atau Lainnya, Tapi Diri Kita

Roda zaman senantiasa berputar memberikan perubahan. Segalanya di dunia berubah, tak terkecuali si manusia yang mengemban amanah sebagai khalifah. Mungkin di dunia ini, selama ada dunia, hanya ada satu yang tak berubah, yaitu perubahan itu sendiri.

Perubahan, banyak faktor yang mengusungnya tak terkecuali di sini adalah teknologi. Mulai dari moyang kita yang naik sepeda batu (memangnya ada?) hingga kita yang sekarang naik roket. Manusia pun kena imbasnya. Pola pikirnya, kebiasan, adat, hingga bahkan fisik manusia itu sendiri juga ber"evolusi". Entah evolusi mana yang mana yang dimaksud, yang dianggap baikkah atau sebaliknya.

Pola perubahan manusia ini merupakan suatu hal yang menarik jika kita amati.Di sini saya akan melakukan pendekatan pada sisi sosio-indvidualnya dan selanjutnya akan kita bawa ke porsi di mana kita sebagai mahasiswa.

Dari sisi sosial, istilah persaingan telah ada sejak awal entah dalam bentuk kelompok atau pun "ifrod". Persaingan besar pertama yang mendunia dapat dilihat bagaimana zaman romawi kuno telah mampu mencapai puncak kejayaannya. Titik terpenting yang dapat diambil di dalamnya sebagai pelajaran adalah dalam kata persaingan.

Lahirnya ilmuwan terkemuka (satu individu) telah membawa kemajuan peradaban kelompoknya. Sangatlah jelas persaingan masa itu dilakukan atas nama lingkup kelompok (nasional). Tapi pada era selanjutnya, justru muncul persaingan multinasional yang berisi aliansi-aliansi untuk melakukan hubungan mutualisma. Dari sana nama besar lingkup yang menaungi sebuah bangsa seakan menjadi sesuatu yang didewakan.

Pelajaran yang dapat kita ambil?Nah, kita tahu fenomena di atas tak lepas dari penguasaan teknologi. Tapi waktu itu, nama institusi (dalam skala kecil) lebih dikedepankan, sehingga mengundang orang merasa wah hanya membawa nama kelompoknya. Sadarkah kita?Seberapa besarkah penguasaan kita akan teknologi itu sendiri? Mengapa hal ini saya tanyakan? Karena budaya yang ada, memang masih "mambu-mambu" ide zaman kolonial di atas.

Kasus sederhana, kita sebagai mahasiswa mungkin sudah berbangga jika dikatakan wah...mahasiswa ITS, mahasiswa ITB, UI atau lainnya. Kekaguman, ya itulah yang dirasakan orang,hanya karena mendengar nama ITS, ITB, UI bla bla. Wajar memang, tapi bagaimana jika dipertanykan tentang kapabilitas kita?

Ingat kawan (juga saya sendiri tentunya) era kita saat ini telah diambang pesaingan dalam sekup individual, bukan institusi lagi. Lihat kemajuan ICT di negara telah membawa program salah satunya pengisian content sebanyak-banyaknya dari resource kalangan akademik. Sehingga dosen pun bisa mempublish mata kuliahnya di web universitasnya masing-masing. Akses terbanyak pada web dosen di universitas bersangkutan membuktikan kapabilitas dosen tersebut.

Jadi sebagai mahasiswa persiapkan diri kalian, siapa kalian, seberapa kemampuan kalian akan diuji secara jantan dengan "kontak energi langsung". Siapa yang menjadi pemenang? tentu mereka yang mampu mengalahkan lawan. Ya, sekali lagi ingat kata persaingan.

Sekup individual yang dimaksudkan di atas untuk lebih luasnya tak hanya representasi dari persaingan, tapi penghargaan, reward, kerja sama nampaknya juga akan dilihat valuenya secara individual. Jikalau pun tidak, apa yang kita miliki tentunya menjadi tolak ukur penilaian akan diri kita yang akan tercermin di sana (dilihat dari kuantitas dan kualitas karya). Bukankah begitu?

Bukan bertujuan memihak ego, tapi apa yang saya tekankan adalah janganlah hanya "nunut jeneng wae" tunjukkan dirimu dengan siapa dirimu sebenarnya.

By : Labib Fayumi
TIf ITS
"Lagi Ngarang Nggak Jelas, Hiks"