27.10.08

Perbincangan Itu pun Berakhir dengan Undangan

Awalnya aku tak acuh saja. Hiruk pikuknya penumpang kereta ditambah dengan mataku yang sangat berat membuatku memilih untuk memejamkan mata, tidur. Saat sesosok ibu-ibu duduk di sampingku pun, aku malas untuk menengok. Hanya melirik sekilas, kemudian mata kembali terpejam.

Minggu (26/10), kereta api Rapi Dhoho jurusan Surabaya lewat Kertosono ramainya ternyata minta ampun. Beruntung, pada saat tiba di stasiun Tulungagung penumpang kereta masih sepi. Sehingga aku masih bebas memilih tempat duduk. Tapi ketika sudah sampai Ngujang dan stasiun selanjutnya, jumlah penumpang yang naik nyaris tak terkendali. Kursi tempatku duduk saja yang seharusnya cukup diisi dengan dua orang harus terpaksa diduduki tiga orang ditambah satu tas barang. Kontan, aku pun tidur dalam kondisi berdesak-desakan.

Aku baru terbangun ketika Rapi Dhoho berhenti di stasiun Kertosono. Biasanya, di stasiun ini lokomotif kereta dipindah dari depan ke belakang. Jadi, perlu waktu cukup lama untuk menunggu. Ku kucek-kucek mataku. Saat mata terbuka, terlihat barisan penjual pecel di pinggir stasiun. "Pecel...," hatiku sontak bersorak. Maklum saja, sejak berangkat tadi perutku memang kosong.

Ku sambar jaket hitam kumal dan menoleh ke seorang Ibu berkerudung yang duduk di sampingku. "Bu, titip panggen nggih. Ajeng medal sekedap (Bu, titip tempat yaaa. Saya ingin keluar sebentar)," dengan sopan aku mohon titip tempat kepadanya agar tak ditempati penumpang lain. "Ajenge tumbas maem nggih. Titip setunggal nggih Mas (Mau beli makan ya Mas. Titip satu boleh?)," jawab si Ibu sambil membuka dompetnya. Aku yang tak sabar untuk turun segera menjawab,"Yotrone mangke mawon Bu ..." (Uangnya nanti saja Bu). "Niki sek Mas. Ibu mboten gadah yotro pecahan lho (Sebentar Mas, ini. Ibu tidak punya uang pecahan lho)," diulurkannya uang sepuluh ribuan ke tanganku.

Harga satu pecel Rp 2500, jadi dua pecel Rp 5000. Karena pembelinya sangat banyak, si penjual meminta agar uangnya pas. Yah, akhirnya kuserahkan uang lima ribuanku. Saat aku minta tolong untuk memecahkan uang sepuluh ribuan yang kupegang, si penjual berkata kalau tak ada uang receh. Ya sudah.

"Niki Bu, pecel ipun. Ngapunten, ingkang sadean mboten gadah yotro receh damel mecahaken. (Ini Bu, nasi pecelnya. Mohon maaf, kata penjualnya, dia tak punya uang receh untuk dipecahkan)," ujarku sambil menyerahkan nasi pecel pesanan Ibu tadi. Tak ketinggalan uang sepuluh ribu juga kukembalikan. Tanpa menunggu banyak jawaban, aku langsung kembali keluar. Di dalam kereta sangat sesak. Tak nyaman rasanya makan di sana. Lebih enakan makan di luar sambil menunggu kereta diberangkatkan.

Kereta kembali berjalan namun dengan arah yang berlawanan karena kepala lokomotifnya sudah berganti sisi. Aku baru saja membuang botol Aqua gelasku. Segar rasanya menikmati semilir angin dari jendela kereta api, apalagi setelah perut kenyang. Hmmm makin nyaman. Rasa gerah akibat berdesakan lumayan berkurang.

"Minggu begini kereta apinya kok ramai ya," Ibu di sampingku membuka pemicaraan (tentu tetap dengan bahasa jawa yang halus). "Memang bu, mahasiswa dan orang-orang yang kerja di Surabaya kan harus kembali setelah libur akhir pekan," timpalku sambil tersenyum. "Masnya juga bekerja di Surabaya?" tanya si Ibu sambil melihat ke arahku. "Oh enggak Bu. Saya kuliah," jawabku. "Kuliah di mana dan jurusan?" lanjutnya. "Di ITS Bu, mengambil jurusan Teknik Komputer," ujarku kemudian. Dan dari pembicaraan kecil ini akhirnya obrolan kami pun makin panjang. Dia bertanya satu-satu mulai saya angkatan berapa, kostnya bagaimana, cari makannya bagaimana, satu bulan bayar berapa, dulu dari SMA mana, setelah lulus mau ke mana, dan seterusnya. Semuanya ku jawab satu per satu juga.

Dari obrolan tersebut saya pun tahu kalau dia sudah punya cucu (padahal menurutku masih cukup muda, sekitar 40 tahun, lhoooooo ^_^). Dia juga punya putri yang kini kuliah di Universitas Negeri Malang (UM) dan baru masuk tahun ini. Si Ibu juga mengatakan bahwa ia pernah menetap di Surabaya selama 12 tahun namun kini memilih kembali ke desanya di Tulungagung yang lebih terasa nuansa kepedesaannya.

Asyik berbincang-bincang, tak terasa kereta yang kami tumpangi semakin dekat dengan stasiun Sepanjang, tujuan si Ibu. "Kapan-kapan kalau balik ke Tulungagung mampir ke rumah ya," tuturnya tiba-tiba. Saat itu kami memang tengah sama-sama terdiam. Aku hanya tertawa kecil menyambut tawaran itu. "Lho, bener lho. Mampir saja ke rumah, nggak usah sungkan. Sudah punya pacar?" sambungnya lagi, kali ini dia tersenyum lebar. Meski demikian, aku menangkap nada yang tak biasa ketika ia melontarkan pertanyaan terakhir tersebut.

"Masih tholabul 'ilmi Bu, nggak boleh pacaran. Banyak dosanya," segera saja aku menimpalinya. "Nggak apa-apa lho. Apalagi sudah mau lulus. Masa tak ada calon. Putri saya juga begitu, kalau ditanya tentang pacar dia bilangnya, 'masa pacaran dengan sama-sama mahasiswa. Kalau minta pulsa sedikit saja pasti minta ibunya'," tuturnya panjang lebar yang membuatku nggak enak.

"Pokoknya kapan-kapan mampir ya. Alamatnya ..............(si Ibu menyebutkan sebuah alamat+cirinya (maaf disensor^_^)), tahu kan?" desaknya sambil tetap tersenyum. Yah, walhasil saya akhirnya mengalah (maksudnya pura-pura bersimpati hehehehehe),"Kalau saya bertanya ke orang-orang sekitar rumah Ibu, saya harus menyebut nama siapa?". "Tanya saja, di mana rumahnya bu Siti. Pasti, orang-orang di sana semuanya tahu," ujar si Ibu yang mengaku bernama bu Siti tersebut dengan wajah makin berbinar. Waduuuuuuuuuuuuuh. Kok serius betul yah dia sepertinya . Ok Bu, terima kasih atas undangannya.

Dan sejurus kemudian, bu Siti pun mohon diri karena kereta sudah sampai di stasiun Sepanjang. Jam di Hp ku masih menunjukkan pukul 10.00. Bu Siti katanya ke Sepanjang hanya untuk mengambil uang dan sekitar jam setengah 12.00 ia akan kembali ke Tulungagung. Hati-hati di perjalanan ya Bu.

1 comment:

yudha said...

Seharusnya sense reportase anda bicara. tanya juga dong,, lha bu anak sampean dah ada yang punya ta??
cakep ga???

oka helda,,