20.9.07

Ramadlan, Wahana Menebar Syiar



Ramadlan tiba, segenap umat muslim bersuka cita. Semuanya berlomba, mengumpulkan butir mutiara pahala di bulan mulia. Musholla dan masjid-masjid penuh sesak, tak mampu menampung jumlah jama'ah yang membludak. Dengung suara tilawatil quran, dengan gagahnya berkumandang. Tak ketinggalan, beribu zakat dan shodaqoh berlomba dikucurkan. Indah .. indah nian. Nuansa islam begitu hidup karenanya.

Maklum memang, bila umat mukmin menyambutnya sedemikian rupa. Ramadlan, ibaratnya merupakan tempat persinggahan dan peristirahatan. Tempat menghela nafas dan melepas lelah dari jenak-jenak hidup yang membosankan. Setelah sebelas bulan lamanya kita "ngalor-ngidul" berurusan dengan dunia, hanya memperhatikan jasadiyah kita, kini saatnya kita harus kembali memaksimalkan diri untuk lebih memanjakan ruhiyah kita. Menyucikan hati serta membersihkan diri dari noda-noda dosa yang telah kita buat sebelas bulan lamanya. Sekaligus menjadi trigger untuk mengawali kembali liku-liku hidup setelahnya.

Bagi penulis sendiri, kehadiran Ramadlan tahun ini telah mengingatkan akan indahnya Ramadlan tahun-tahun sebelumnya. Tentunya dengan harapan semoga kenangan indah itu terulang lagi untuk Ramadlan tahun ini, atau lebih malah.

Dan sebagian dari kenangan tersebut adalah hidupnya nuansa keislaman di bulan suci ini. Lihatlah, bagaimana ketika muslim muslimat dengan semangatnya berduyun-duyun pergi ke masjid, yang muslimah anggun dalam putihnya, yang laki-laki pun anggun bersama koko dan kopyah yang dikenakannya, serta lihatlah tak ketinggalan pula ribuan santri di kota santri yang hampir setiap ba'da sholat maktubahnya berduyun-duyun ke majlis ilmu. Tentram, tentram sekali hati ini ketika menyaksikannya. Islam seakan menemukan nafasnya. Dalam kebersamaannya, umat muslim secara tak sengaja menunjukkan wibawanya, dalam suasana ukhuwahnya umat muslim telah menunjukkan kehormatan akan jati dirinya.

Syiar Islam pun melebar. Yang jarang ke masjid pun menjadi sering ke masjid di bulan Ramadlan (terlepas dari ikut-ikutan karena malu atau tidak), yang pelit pun menjadi bersedia berbagi demi dilihatnya banyak saudaranya yang bershodaqoh, yang jarang mengaji pun menjadi sering membuka Al-Qurannya untuk ikut tadarus di musholla. Tak hanya orang tua, yang muda pun tampak bersemangat. Semuanya masih awalan memang, meski masih dalam tahap "ikut-ikutan" bukankah itu sebuah pintu menuju kebaikan yang lebih?

Tapi sayang sekali, keindahan tersebut di beberapa tempat hanya berasa sementara. Manis di awal, terasa hambar di sisa. Begitulah, sepuluh hari pertama memang amat terasa, tapi di hari-hari sisanya keindahan itu menjadi hampa sebagaimana hari biasa. Orang-orang yang berjama'ah di masjid untuk sholat tarawih pun semakin maju, maju shofnya. Mungkin benar adanya jika dikatakan bahwa Ramadlan bagaikan sebuah event pertandingan. Di babak penyisihan (10 hari pertama) banyak sekali peminatnya, dan di 20 hari sisanya (semifinal dan final) makin sedikit kontestannya.

Kasihan memang. Penulis sendiri saat melihat kondisi yang demikian menjadi teringat akan sebuah hadist dari Abu Hurairah, yang artinya kurang lebih begini :
“Ada tujuh kelompok yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Mereka adalah pemimpin yang adil, anak muda yang senantiasa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, seseorang yang hatinya senantiasa dipertautkan dengan mesjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, yakni keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang ketika dirayu oleh seorang wanita bangsawan lagi rupawan lalu ia menjawab: “Sungguh aku takut kepada Allah”, seseorang yang mengeluarkan shadaqah lantas di-sembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya, dan seseorang yang berzikir kepada Allah di tempat yang sunyi kemudian ia mencucurkan air mata”. (H.R.Bukhary - Muslim).

Hubungannya dengan Ramadlan? Coba kita baca poin "....anak muda yang senantiasa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, seseorang yang hatinya senantiasa dipertautkan dengan mesjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, yakni keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah ...".

Indahnya syiar Ramadlan yang kita rasakan semuanya bermuara pada satu rumah suci yakni masjid. Jika Ramadlan saja masjid kita cepat sepi, maka syiar Islam pun patut dipertanyakan sebagai konsekwensinya.

Adalah seorang pemuda di sini yang hendaknya lebih berperan aktif menggalakkan syiar ini. Taqorrub ilallah selama Ramadlan (setidaknya) merupakan wujud aplikasi nyatanya. Yang selanjutnya akan membawa hatinya untuk terpaut dengan masjid. Lihatlah, bukankah indahnya nur nuansa syiar bulan suci terpancar terutama dari masjid-masjid? Jika telah demikian, akhirnya jadilah mereka orang-orang yang mencintai karena Allah, berkumpul dan berpisah karena Allah (gambaran : perhatikan betapa "mesranya" mereka yang berduyun jama'ah sholat tarawih, berangkat bersama dan pulang bersama. Menebar indahnya syiar di sepanjang jalan yang dilaluinya).

Menjadi suatu hal yang patut disesalkan jika yang terjadi malah kebalikannya, masjid malah dianggap sebagai sesuatu yang kuno. Lebih "trend" apabila berada di mall-mall, bioskop-bioskop, cafe, club metropolis, dan taman-taman cangkrukan. Innalillah, itulah yang telah menghinggapi benak sebagian pemuda muslim saat ini. Sungguh kaum kuffar telah berhasil memainkan skenarionya untuk mencincang syiar Islam dengan menjauhkan generasi muda muslim dari masjid.

Maka, dengan momentum Ramadlan 1428 ini marilah kita bangkit bersama. Jalin ukhuwah, meriahkan masjid-masjid dan musholla-musholla kita selama bulan suci, hiasi hari kita dengan berbagai amal kebaikan, berlomba dan senantiasa berlomba untuk kebaikan di dalamnya. Sungguh menjadi impian kita bersama, bila indahnya nuansa Ramadlan tak hanya berada di Ramadlan saja. Syiar Islam akan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Jadi, siapkah kalian, wahai ikhwah, untuk menjadi salah satu pionirnya?

*fyuh, setelah tertuda-tunda kesibukan akhirnya jadi juga artikelnya. Tapi telat, hiks.

By : Labib Fayumi
FTIf - ITS

6.9.07

Waladldlooolliin .... !




Aku duduk terpekur di pinggir serambi musholla. Al-Quran masih kudekap erat. Sesekali kupandang langit yang penuh bintang, sambil lamat-lamat bibir komat-kamit,"Ghoiril maghdluubi 'alaihim waladldlolliiin," apa yang salah? Pikirku. Sudah tiga hari ini kopyah yang bertengger di kepalaku terkena lecutan sabet bambu Abah (panggilan santri ke kyai ku). Kata beliau mahkroj huruf dlot ku masih 'keliru'. Sedih, tiga hari tanpa kemajuan. Padahal ketika aku sorogan (setor bacaan) ke kang Abror (nama samaran), menantu Abah, katanya tak ada masalah, bagus malah. Duh ...!

"Kang Dzakiy, hayooo .. ngelamun apa ...!" sebuah suara membuyarkan lamunanku. Kang Maman, ia meringis tersenyum sambil memegang pundakku dari belakang."Biasa kang ..., lagi nunggu giliran," jawabku beralasan. Betulkan? Giliran untuk mengaji ke kang Abror maksudnya."Sampeyan duluan aja, saya tak akhir-akhir wae," ujarku."Heee ... gitu ... orang nanya ngelamun apa malah diusir ya ya ... Oh ya kang, ntar ba'da isya' ajarin Fisika ya ...," Maman memijit-mijit pundakku keras-keras. Ketika aku berbalik hendak balas memijat, Maman sudah ngacir melarikan diri sambil senyum-senyum.

Aku menghela nafas. Suara santri yang sorogan ke Abah masih nyaring terdengar. Aku hendak membuka mushaf, ketika seraut wajah cantik terlongok dari pintu ndalem (sebutan santri untuk rumah kyai) sebelah musholla. Deg, mbak Rahma , putri kedua Abah. Abah, ketika saya menjadi santri di sana, beliau mempunyai dua orang putra, yakni mas Fudlail dan mbak Rahma. Mas Fudlail lebih tua dua tahun saya dan mbak Rahma 2-3 tahun lebih muda dari saya.

Saat menatap ke arahku, mbak Rahma tersenyum. Aku jadi salah tingkah, malu...!. Dengan bergegas aku masuk ke gedung asrama putra di samping kiri musholla (mushola, ndalem, asrama putra, asrama putri terhubung satu sama lain), dan duduk antri sorogan di barisan belakang.

Kang Abror mengamati pergerakan lisanku. Huruf demi huruf shuroh Al-Fatihah kubaca dengan mantap."Waladldlooolliin," Sesaat ..hmhmh ... kuhembuskan nafasku. Maklum membaca dengan suara keras dan makhroj yang benar-benar shohih, membuatku terengah-engah kelelahan.

Kulirik kang Abror, ia hanya manggut-manggut saja. Tandanya meyilakanku untuk melanjutkan bacaan yang akan ku setorkan. Sampai ayat terkahir, ternyata tak ada yang salah. Betulkah tak ada yang salah? Usai mengaji, kusempatkan mengeluh pada kang Abror kalau Dlot-ku masih salah di hadapan Abah."Tetep nderes mawon kang (tetaplah untuk banyak tilawah, kang)," itu saja yang beliau sarankan. Aku tambah 'manyun', beliau hanya tersenyum.

Isya', kurang lima menit. Aku masih mengulang bacaan Dlot-ku, di mana salahnya? Ku raba, ku rasa setiap jengkal makhrojnya. Ya Allah, berilah ketajaman pada lisanku untuk melafalkan dengan benar kalam-Mu. Tanpa sadar hatiku memanjatkan doa.

"Tong tong tong ... tong," bunyi kentongan tanda isya' ditabuh. Segera, terlihat para petugas keamanan pondok berseliweran 'mengahalau' santri-santri agar segera ke musholla. Santri di sini memang terdiri dari berbagi tingkat pendidikan, ada yang masih SD, SMP, dan SMA. Jika tak ada yang mengingatkan tentu santri-santri ciliknya lebih memilih bersenda gurau dari pada ke musholla. Huh ...repotnya !

"Kang ... kang ... kang Dzakiy, adzan kang," tiba-tiba seorang pengurus terkopoh-kopoh datang sambil meneriakiku. Lho? Masya Allah bukankah malam ini adalah jadwal saya adzan 'isya?."Oh inggih kang, ngapunten kulo supe ...(Iya kang, maaf saya lupa)" ujarku terburu-buru sambil meletakkan Al-Quran kecilku di atas kusen jendela asrama."Piye to kang, saking khusyu' nderes supe jadwal adzan," Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil tergesa menuju mushola.

Kulihat ratusan santri sudah membentuk shaf dengan rapi."Allahu akbar .. Allaaahu akbar..,". Bukan suara jawaban adzan yang kudengar."Wah, ini pasti kang Dzakiy ya yang adzan. Bagusnya ...!" terdengar kasak-kusuk dari ruang musholla putri."Nggak penting blass," protesku serta merta. Dalam hati tentunya, namun yang lebih parah ... tampak beberapa akhwat kecil menongolkan wajahnya hendak mau melihatku adzan, mungkin begitu maksudnya. Alamaaaaaak....! Untung pengurus putrinya langsung bertindak.

Setelah sholat isya', para santri belajar pelajaran sekolah umunya. Aku masih malas. Maman yang tadi minta diajarin Fisika pun aku abaikan. Saat kubilang aku sedang nggak mood ia hanya nyengir kuda.

Kutemui kang Sholeh yang sudah bilghoib untuk menyimak Fatihahku, betul katanya. Ganti kang Zaid, betul juga, kang Ihsan, bagus banget begitu malah komentarnya. Ya Allaaaah ....!

Pelajaran yang lumayan malah kudapat dari kang Qosim, keponakan abah sendiri. Katanya begini, begitu (banyak pokoknya) dan aku disuruh mempraktekannya. Sudah bagus, begitu akhirnya komentar kang Qosim."Bagus lagi ... bagus lagi..," batinku.

Keesokan paginya, ba'da shubuh aku antri pertama setoran ke Abah. Mataku masih berat sebenarnya, maklum hampir semalaman memelototi Al-Fatihah ditemani kang Qosim yang juga 'nyambi' belajar.

Dengan tajam Abah mengawasi pergerakan lisanku. Sabet bambunya sudah teracung ke atas kepalaku. Aku menjadi gemetar."Ghoiril maghdluubi 'alaihim waladldlolliiin," kulafalkan dengan seksama tiap hurufnya. Dan ... sabetnya bergerak. Mataku terpejam ..., "Kalau memang salah ya pasrah," pikirku sedih. Satu, dua detik tak kurasakan sabetan bambu Abah di kopyahku. Kubuka mata, ternyata sabet bambu Abah tak berada di atas kepalaku lagi, beliau tak jadi memukul. Malah, beliau sudah mengalihkan perhatian ke santri lain yang juga sorogan (satu kali sorogan Abah menyimak tujuh santri sekaligus).

Mataku berkaca-kaca. Kulirik wajah abah, dan .... mata kami bertemu. Mungkin beliau heran mengapa aku terdiam. Abah mengangguk, mengisyaratkan bahwa bacaanku tadi sudah benar. Dan dengan mata yang hampir menangis kuteruskan bacaan Al-Quranku, meneruskan jatah sorogan yang sudah tiga hari tak bertambah sama sekali. "Ya Allah ... Memang hanya nabi-Mu yang paling fasih dalam melafadzkan huruf Dlot (Sabda Nabi :"Ana afshohu ma naqola bidldlood" (Aku adalah sefasih-fasihnya orang yang mengucapkan huruf Dlot)), maka berikanlah kefasihan dalam lisanku sebagaimana kefasihan yang ada pada nabi-Mu."

Saking seneng dan harunya, lelehan air mataku seperti tak henti mengalir hingga aku sorogan ke kang Abror."Lho kang Dzakiy, kenapa kok nangis, disabet lagi?," kang Abror bertanya keheranan. Dalam tangisku, aku hanya tersenyum."Mboten kang".


* Diambil dari kisah nyata, nama tokoh semua disamarkan

By : Labib Fayumi
FTIf - ITS