Masih segar dalam ingatanku, pagi itu aku duduk dengan ta'dzim bersama santri-santri di serambi masjid sebuah pesantren untuk mengikuti aktifitas mengaji. Ini adalah kegiatan rutinku sebelum berangkat ke sekolah. Saat itu aku duduk di kelas 2 SMA. Seperti biasa, suara mbah kyai yang kalem membimbing kami menyelami mutiara-mutiara kalam kitab yang kami kaji. Pen tutulku tak henti menuliskan goresan abjad 'arobi di bawah lafadz yang dimaknai oleh mbah kyai. Tarian miring yang kutuliskan kadang terhenti bila mbah kyai berhenti membaca, beliau menyela. Menaburkan penjelasan indah dari apa yang baru saja dibacakannya.
Seperti biasa, kegiatan pagi itu berlangsung selama satu jam, mulai pukul 05.00 berakhir jam 06.00. Setelah itu, adatnya santri-santri bersiap diri dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang hendak kerja, kuliah, sekolah, atau sekedar piket di pesantren.
Tapi, hari itu ternyata agak berbeda dengan biasanya. Mbah kyai tak langsung beranjak dari tempat beliau. "Wahai...murid-muridku semuanya ...," dengan syahdu beliau memulai wejangannya. Suasana begitu tenang. Ratusan santri yang hadir dengan anteng menunggu apa yang hendak disampikan kyainya. "Ketaatan santri kepada kyai, itulah prinsip dasar penuntut ilmu yang memang selayaknya dipegang teguh oleh seorang santri. Jika diibaratkan, santri itu bagaikan malaikat ...," petuah suci nan sakti itu berkelebatan menembus setiap hati para santri, menggerus segala kepongahan ilmu, melahirkan tawadlu' yang demikian dalamnya. Aku sendiri juga terdiam, terbawa suasana. Sekian dari apa yang beliau sampaikan, salah satu apa yang aku camkan adalah petuah beliau kepada santri untuk memakai tutup kepala. Mungkin, terdengar aneh dan sepele. Tapi, begitulah peraturan di pesantren kami. "Biar ada bedanya dengan yang bukan santri. Penutup kepalanya sendiri bukan berarti harus kopyah, boleh juga memakai topi," demikian wanti-wanti salah seorang pengurus kepadaku suatu hari. Namun, apa pun kata mereka, aku rasa apa pun dhawuh mbah kyai bila itu memang merupakan anjuran agama ya harusnya sami'na wa atho'na. Dan hingga sekarang, untuk masalah menutup kepala ini aku tetap berusaha menjaga meski kadang kala juga terkena penyakit plin-plan.
Topi biru kumal dan bagian depannya bergambar lambang Nike, itulah satu-satunya topi yang ku punya. Ke mana pun pergi, tak lupa ia kubawa. Kecuali jika aku memang malas membawanya. Namun, jika teringat petuah mbah kyai di atas, sekonyong rasa malas itu pun sirna. Tapi akibatnya, topi biru itu pun makin kumal dan baunya nggak karuan. Maklum saja, aku memang jarang mencucinya. Terkadang, aku sendiri juga heran. Kenapa ya untuk urusan sekecil itu saja malasnya tak karuan?
Hingga akhirnya, selepas Idul Adha Selasa (9/12) kemarin, aku melihat sesuatu menjorok dari lokerku. Saat itu hendak berangkat kuliah. Heran. Segera kuambil benda itu dan... eh? ternyata itu topi. Plastik yang membungkusnya pun masih rapi. Ku cium topi itu, hmmm...baunya pun masih baru. Kutanyakan pada pak Johan, jawabnya,"Paling Emal yang salah memasukkan. Lokernya kan di atasmu." Emal datang, dia pun kutanya. Jawabannya ternyata sama saja, ia tak tahu.
Ah, masa bodoh. Siapa pun orang yang memasukkannya, ia pasti memang sengaja. Apalagi seingatku, sebelum pulang kampung untuk perayaan Idul Adha, aku sudah memastikan bahwa lokerku tertutup rapat. Dan yang pasti, Mr/Mrs X itu adalah salah satu dari kru kami. Topi ini halal kupakai.
Teruntuk sang pemberi topi yang misteri, aku mengucapkan beribu terima kasih kepadamu. Apapun niatanmu, semoga apa yang telah kau berikan menjadi amalan yang murni di sisi-Nya. Shodaqoh sirri adalah shodaqoh yang mulia. Apalagi, meski secara tak sengaja, kau telah memberikan sesuatu yang dengannya orang yang kau beri dapat istiqomah dengan identitasnya, berusaha menepati apa yang telah diwejangkan sang guru kepadanya. Bila si kikir yang masuk neraka saja mampu mengusir api jahannam dengan kibasan satu-satunya sapu tangan yang sempat ia shodaqohkan, kau berhak jauh lebih dari itu dengan amal-amalmu, tak terkecuali dengan sepotong topi itu. Sekali lagi, terima kasihku kuhaturkan untukmu.
Tapi kawan. Aku tak memungkiri, ada pula rasa penasaran. Meski tak memaksa, alangkah baiknya bila engkau mengaku. Yah, setidaknya bila memang tak bersedia, jawablah tulisan ini dengan meninggalkan sepatah kata komentar di bawahnya. Mau kan? Kau berhak atas pahalamu, ungkapan terima kasih dariku, sekaligus balas budi dariku untukmu. Apakah itu semua belum cukup untukmu? padahal aku hanya ingin tahu : siapakah dirimu?
Seperti biasa, kegiatan pagi itu berlangsung selama satu jam, mulai pukul 05.00 berakhir jam 06.00. Setelah itu, adatnya santri-santri bersiap diri dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang hendak kerja, kuliah, sekolah, atau sekedar piket di pesantren.
Tapi, hari itu ternyata agak berbeda dengan biasanya. Mbah kyai tak langsung beranjak dari tempat beliau. "Wahai...murid-muridku semuanya ...," dengan syahdu beliau memulai wejangannya. Suasana begitu tenang. Ratusan santri yang hadir dengan anteng menunggu apa yang hendak disampikan kyainya. "Ketaatan santri kepada kyai, itulah prinsip dasar penuntut ilmu yang memang selayaknya dipegang teguh oleh seorang santri. Jika diibaratkan, santri itu bagaikan malaikat ...," petuah suci nan sakti itu berkelebatan menembus setiap hati para santri, menggerus segala kepongahan ilmu, melahirkan tawadlu' yang demikian dalamnya. Aku sendiri juga terdiam, terbawa suasana. Sekian dari apa yang beliau sampaikan, salah satu apa yang aku camkan adalah petuah beliau kepada santri untuk memakai tutup kepala. Mungkin, terdengar aneh dan sepele. Tapi, begitulah peraturan di pesantren kami. "Biar ada bedanya dengan yang bukan santri. Penutup kepalanya sendiri bukan berarti harus kopyah, boleh juga memakai topi," demikian wanti-wanti salah seorang pengurus kepadaku suatu hari. Namun, apa pun kata mereka, aku rasa apa pun dhawuh mbah kyai bila itu memang merupakan anjuran agama ya harusnya sami'na wa atho'na. Dan hingga sekarang, untuk masalah menutup kepala ini aku tetap berusaha menjaga meski kadang kala juga terkena penyakit plin-plan.
Topi biru kumal dan bagian depannya bergambar lambang Nike, itulah satu-satunya topi yang ku punya. Ke mana pun pergi, tak lupa ia kubawa. Kecuali jika aku memang malas membawanya. Namun, jika teringat petuah mbah kyai di atas, sekonyong rasa malas itu pun sirna. Tapi akibatnya, topi biru itu pun makin kumal dan baunya nggak karuan. Maklum saja, aku memang jarang mencucinya. Terkadang, aku sendiri juga heran. Kenapa ya untuk urusan sekecil itu saja malasnya tak karuan?
Hingga akhirnya, selepas Idul Adha Selasa (9/12) kemarin, aku melihat sesuatu menjorok dari lokerku. Saat itu hendak berangkat kuliah. Heran. Segera kuambil benda itu dan... eh? ternyata itu topi. Plastik yang membungkusnya pun masih rapi. Ku cium topi itu, hmmm...baunya pun masih baru. Kutanyakan pada pak Johan, jawabnya,"Paling Emal yang salah memasukkan. Lokernya kan di atasmu." Emal datang, dia pun kutanya. Jawabannya ternyata sama saja, ia tak tahu.
Ah, masa bodoh. Siapa pun orang yang memasukkannya, ia pasti memang sengaja. Apalagi seingatku, sebelum pulang kampung untuk perayaan Idul Adha, aku sudah memastikan bahwa lokerku tertutup rapat. Dan yang pasti, Mr/Mrs X itu adalah salah satu dari kru kami. Topi ini halal kupakai.
Teruntuk sang pemberi topi yang misteri, aku mengucapkan beribu terima kasih kepadamu. Apapun niatanmu, semoga apa yang telah kau berikan menjadi amalan yang murni di sisi-Nya. Shodaqoh sirri adalah shodaqoh yang mulia. Apalagi, meski secara tak sengaja, kau telah memberikan sesuatu yang dengannya orang yang kau beri dapat istiqomah dengan identitasnya, berusaha menepati apa yang telah diwejangkan sang guru kepadanya. Bila si kikir yang masuk neraka saja mampu mengusir api jahannam dengan kibasan satu-satunya sapu tangan yang sempat ia shodaqohkan, kau berhak jauh lebih dari itu dengan amal-amalmu, tak terkecuali dengan sepotong topi itu. Sekali lagi, terima kasihku kuhaturkan untukmu.
Tapi kawan. Aku tak memungkiri, ada pula rasa penasaran. Meski tak memaksa, alangkah baiknya bila engkau mengaku. Yah, setidaknya bila memang tak bersedia, jawablah tulisan ini dengan meninggalkan sepatah kata komentar di bawahnya. Mau kan? Kau berhak atas pahalamu, ungkapan terima kasih dariku, sekaligus balas budi dariku untukmu. Apakah itu semua belum cukup untukmu? padahal aku hanya ingin tahu : siapakah dirimu?