9.5.07

Guru, masihkah kita bertata krama padanya?

Ketika masih TK? Siapakah yang mengajari kita menyanyi Indonesia Raya, menulis a, b, c? Guru. Saat kita SMP siapa yang mengajar kita Matematika, Bahasa Daerah, Muatan Lokal?Guru. Saat kita di taman baca Al-Quran siapa yang mengajari kita ngaji? Guru. Ya, orang yang mengajar kita disiplin ilmu adalah guru apapun istilahnya ustadz, ustadzah, sensei atau bahkan dosen sekalipun (Toh puncaknya kembali ke guru juga kan?Guru Besar).

Dalam khasanah ilmu adabiyah Islam, hormat kepada seorang guru/ustadz merupakan suatu kewajiban. Ilmu adalah suatu yang mulia di sisi Allah SWT. Dan karenanya manakala kita menuntut ilmu, kita juga harus memuliakan ahli ilmu tersebut. Atau jika tidak, ilmu yang akan anda dapat tak akan barokah(Begitu salah satu "dhawuh" seorang ulama).

Menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan manakala negara kita mereformasi sistem pendidikan yang ada, akhlak kepada guru pun turut tereformasi total. Entah siapa yang dijadikan panutan, guru kok sama dengan teman?

Heran, ketika seorang guru lewat, murid dengan tak acuhnya mengabaikan, pura-pura buta kepala. Dosen yang tak tampaknya nggak bisa pun dibantai oleh tanpa ampun oleh mahasiswanya dengan beragam pertanyaan. Kita pun sudah biasa lewat di depan mereka seolah-olah beliau bukan siapa-siapa. Masyaallah, di mana letak moral kita yang katanya menjunjung tata krama?

Diceritakan dalam kitab ta'limul muta'allim (jika tak salah) seorang ulama pernah nyantri pada seorang kyai. Pada suatu saat dimajlis ilmunya, sang kyai meminta santri tersebut mengambil pena di atas jendela di sampingnya. Apa jawab santrinya?"Jendela yang mana kyai?". Saking tawadlu'nya terhadap ilmu yang dipelajari sang santri lupa dengan dunia sekelilingnya. Luar biasa. Dan terbukti, pengabdiannya tersebut membawanya ke derajad ulama mulia.

Satu lagi, syahdan raja Harun Al-Rasyid mengamanahkan putranya kepada seorang ulama agar beliau mengajar anaknya ilmu akhlaq. Suatu saat Harun Arrasyid melihat putranya mengucurkan air timba untuk digunakan wudlu kyainya. Apa kata raja Harun?"Hai le (istilah jawanya), kenapa tidak sekalian kamu basuh dengan tanganmu anggota wudlu gurumu?".

Dari pengglan hikayat di atas dapat dilihat betapa agungnya kemuliaan akhlaq ulama terdahulu ketika mereka tholabul 'ilmi.

Lebih lanjut berbicara akhlaq kepada seorang guru mari kita dengar pengalaman imam Muhammad bin Abdullah bin Malik (Ulama nahwu dari al-isbaniy, andalusia) ketika mengarang kitab Al-fiyyah.

Diceritakan bahwa ketika mengawali mengarang kita ALfiyyah beliau telah mengumpulkan ide-ide cemerlang untuk kitabnya. Bahkan saking percaya dirinya syaikh ibnu malik menyebutkan dalam bait ke-4 nadzomnya (Alfiyyah terdiri dari kurang lebih 1050 nadzom) bahwa kitabnya lebih sempurna dari karangan gurunya.

"Wataqtadlii Ridlom Bighoiri Sukhthi Fa-iqotan Alfiyyatabni Mu'thi"

Dan apa yang terjadi?Baru saja beliau selesai menulis nadzom tersebut, hilanglah semua ide yang telah beliau kumpulkan dari kepala beliau alias blank. Dan akhirnya syaikh Ibnu Malik menyadari bahwa beliau telah "kurang ajar" kepada gurunya. Dan setelah berdoa beliau meneruskan baitnya dengan bait ketawadluan :

"Wahuwa bisabqin haa-izun tafdliilaa Mustaujibun Stanaa-iyal Jamiilaa"

Dan kembalilah ide-ide beliau sebelumnya menghilang. Wallahu a'lam.

Itulah sekelumit kisah dari ibnu malik. Banyak yang dapat kita ambil di dalamnya. Tinggal bagaimana penyikapan kita selanjutnya.


Labib Fayumi
Teknik Informatika ITS

1 comment:

eko suhariyadi said...

jadi inget ama guru2 yang udah ngebimbing mulai dari TK ampe SMA... Pengen banget sowan, tapi masih terhalang kendala waktu....

Kapan ya bisa sowan ke SMP??