24.4.07

Glamour di tengah Keterpurukan

Luar biasa, satu lagi prestasi bidang Qurani diraih oleh qori'-qori'ah Indonesia. Meski hanya mengirimkan dua kontingen cabang MTQ (putra dan putri), dominasi Indonesia di kancah MTQ Internasional ternyata tak tergoyahkan. Ini dibuktikan dengan diraihnya gelar juara I baik putra dan putri oleh dua kontingen MTQ Indonesia dalam Musabaqah Tilawatil Quran Pemuda Asean 2007 Brunei Darussalam yang berlangsung 11-13 April lalu.

Dengan diraihnya dua gelar juara ini berarti semakin lengkaplah koleksi piala Indonesia setelah Agustus 2006 lalu qariah Indonesia juga menjadi juara tiga dalam MTQ tingkat dunia di Kuala Lumpur, Malaysia.

Ya, kita tentu berbangga dengan semakin banyak gelar yang di raih Indonesia dalam MTQ Internasional tentu membuktikan bahwa kemampuan "Indunisiyyin" akan 'ulumul quran memang tak diragukan. Namun bertolak dari sana dan melihat ke belakang, kenapa kemampuan tersebut semakin minim yang memilikinya? Apa kita hanya hendak beralasan, meski sedikit ahlinya toh kita tetap juara.

Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) boleh saja bangga, dengan perjuangan selama 30 tahun (LPTQ berdiri tahun 1977) akhirnya kita mampu memproduksi ahli-ahli Al-quran tingkat dunia. Lomba-lomba MTQ pun banyak digelar, sebut saja Pekan Tilawatil Qur’an RRI/TVRI, MTQ Mahasiswa Depdiknas, MTQ Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, MTQ Wartawan Tingkat Nasional oleh PWI koordinatoriat Departemen Agama, dan MTQ Wartawan ASEAN PWI Jakarta, semuanya tak lain tak lepas dari jasa LPTQ.

Akan tetapi, cobalah lihat ke bawah seberapa parah model-model pembinaan kader MTQ kita. Nampaknya upaya pembudayaan qurani memang belum sukses sepenuhnya. Berdasar pengalaman saya, pembinaan saja baling banyak hanya dihadiri sepuluh orang. Apakah ini yang kita inginkan?Padahal pembinaan tersebut masih level gratisan (open source layaknya). Terkecuali untuk sekup-sekup seperti pondok pesantren yang memang gampang untuk mengkoordinirnya. Ataukah dengan iming-iming hadiah kita ingin menggalakkan proses pembudayaan tersebut? Dalam satu sisi mungkin dianggap baik, tapi kemurnian niat akan sangatlah diragukan. Sehingga tak heran bila ada beberapa ulama' Al-quran yang melarang santrinya untuk mengikuti MTQ (termasuk kyai saya dulu).

Dapat dimaklumi, di tengah gempuran modernisasi, perjuangan membudayakan iklim qurani masih "stagnant" paling tidak jika dilihat obyek target yang telah kita "kuasai". Namun dari segi kualitas fainsyaallah tidaklah diragukan, karena waktu 30 tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk me-makan garam.

Harapannya, glamour yang telah diraih hendaknya tak menjadikan lupa akan nilai qurani itu sendiri dan tak menjadi penutup akan keterpurukan yang kita alami, seyogyanya menjadikan kita lebih membuka mata. Ingat masih banyak yang perlu diperbaiki.

Labib Fayumi
Ftif-ITS


Catatan Kaki :
- http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8996
- http://www.depag.go.id/index.php?menu=news&opt=detail&id=797

No comments: